SECARIK KERTAS LUSUH, PESAN DARI SAWAH...

     
     Nusantara merupakan negeri yang dikaruniai tanah yang subur, dengan iklim tropis yang memberikan peluang untuk bekerja secara agraris. Bila kita menelusuri kembali jejak budaya lama, disini… di sawahlah kehidupan sosial bermula. Setelah masa berburu dan meramu (food gathering), pribumi prasejarah telah masuk babak baru dengan bercocok tanam. Dahulu ketika petani melepaskan lelah, mereka istirahat bersama di pinggir sawah bawah pohon rindang. Mereka saling berinteraksi membicarakan permasalahan sehari-hari. Ruang terbuka inilah sebagai public space / ruang sosial beratapkan langit, berbataskan pohon-pohon yang mengelilinginya, menghijau, terkadang pula dilewati suara gemricik air dengan liuk tarian pantulan mentari di air. Begitulah suatu kehidupan sederhana yang nyaman terekam, namun memiliki banyak arti.
     Seiring dengan pesatnya pertumbuhan kota, eksistensi sawah ini semakin tergeser. Pendekatan ekonomi sering dipakai oleh manusia modern untuk mengumpulkan kekayaan. Seseorang perancang juga melakukan perusakan alam hanya untuk membangun kawasan pertokoan, untuk kebutuhan belanja. Banyak orang juga lebih mementingkan sisi indiviualisnya berlomba-lomba merancang suatu bangunan yang paling bagus demi mendapatkan sebuah pujian dan uang. Manusia sebagai khalifah tentunya dipercaya mengolah alam untuk kehidupan yang lebih baik, tetapi sepertinya tidak ada timbal baliknya. Baru ketika alam angkat bicara, para perancang memasukkan unsur green design, dalam setiap rancangannya. Green building merupakan sebuah kegagalan arsitektur modern dalam menghargai alam.
     Saya yang kebetulan seorang arsitek, memahami fenomena tersebut diatas dengan banyak menyisakan dilema terdalam. Suatu ketika adanya tuntutan profesi untuk menjawab permintaan klien dengan merancang bangunan, tetapi disisi lain merusak alam dan mengurangi jumlah ruang terbuka. Apakah setiap jengkal tanah harus dianggap sebagai teritori manusia. Bagaimana dengan makhluk lain sebagai anggota masyarakat alam? Tidak adil bukan. Manusia menganggap diri sebagai khalifah di bumi tetapi mengabaikan keseimbangan alam.
     Belajar dari permasalahan ini, maka ada secarik pesan : rasakanlah alam, diapun berbahasa. Jangan terlalu mementingkan ekonomi, sesungguhnya pemikiran ini menyesatkan dan materialis. Suatu ketika nanti, anak saya bertanya, “Yah, bagaimana sih bentuk sawah itu? katanya selain untuk padi dan jagung juga banyak capung, ya Yah?”. Aku pun manggut-manggut terdiam dan hanya bisa menunjukkan foto-foto tentang sawah waktu saya remaja….
Pasti…

Comments