MEMAKNAI KEMBALI KEARIFAN LOKAL DALAM ARSITEKTUR


1. Tentang Definisi Kearifan Lokal Sebelumnya
   Pada umumnya, pengertian kearifan lokal telah banyak ditulis dan dikembangkan oleh berbagai ahli dengan jurnal-jurnal ilmiahnya, maupun orang awam yang sadar dan tertarik tentang potensi yang tertimbun di daerahnya. Pengertian ini diperoleh selain diperoleh dari sudut antropologis, kesejarahan maupun khususnya dalam bidang arsitektur (lingkungan binaan). Kebanyakan pengertian tersebut menjadi sebuah ‘definisi’ yang mengalami degenerasi atau penyempitan makna, karena tidak satu-dua yang langsung mencontek referensinya tanpa ada contoh dari image realita kehidupan.
      Pada definisi sebelumnya, dalam kamus bahasa Inggris-Indonesia John M Echols dan Hassan Shadily, kearifan lokal diderivasi dari dua kata yaitu kearifan (wisdom) atau kebijaksanaan; dan lokal (local) atau setempat. Jadi menurut beliau, gagasan setempat yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya. Menurut Gobyah dalam Sartini (2004:112) nilai terpentingnya adalah kebenaran yang telah mentradisi atau ajeg dalam suatu daerah. Geriya dalam Sartini (2004:112) juga menjelaskan hal yang sama, pengertiannya secara konseptual, kearifan lokal dan keunggulan lokal merupakan kebijaksanaan manusia yang bersandar pada filosofi nilai-nilai, etika, cara-cara dan perilaku yang melembaga secara tradisional. Menurut Antariksa (2009), kearifan lokal merupakan unsur bagian dari tradisi-budaya masyarakat suatu bangsa, yang muncul menjadi bagian-bagian yang ditempatkan pada tatanan fisik bangunan (arsitektur) dan kawasan (perkotaan) dalam geografi kenusantaraan sebuah bangsa. Dari penjelasan beliau dapat dilihat bahwa kearifan lokal merupakan langkah penerapan dari tradisi yang diterjemahkan dalam artefak fisik. Hal terpenting dari kearifan lokal adalah proses sebelum implementasi tradisi pada artefak fisik, yaitu nilai-nilai dari alam untuk mengajak dan mengajarkan tentang bagaimana ‘membaca’ potensi alam dan menuliskannya kembali sebagai tradisi yang diterima secara universal oleh masyarakat, khususnya dalam berarsitektur. Nilai tradisi untuk menselaraskan kehidupan manusia dengan cara menghargai, memelihara dan melestarikan alam lingkungan. (Pangarsa, 2008 : 84). Hal ini dapat dilihat bahwa semakin adanya penyempurnaan arti dan saling mendukung, yang intinya adalah memahami bakat dan potensi alam tempatnya hidup; dan diwujudkannya sebagai tradisi.

2. Membaca Fenomena Nyata
      Kearifan lokal juga tergantung dari setiap individu untuk memaknainya, oleh karena itu tercipta beragam arti. Tidak ada kata pasti untuk menjelaskannya karena akan selalu mengalami perubahan dari waktu ke waktu sehingga lebih cocok disebut konsepsi; bukan definisi. Perubahan tersebut sejalan dengan budaya manusia yang selalu berkembang. Dalam proses pemahamannya, perlu kembali kepada kehidupan sehari-hari, yaitu membaca fenomena nyata dengan pengalaman ruang. Sebatas yang diketahui, karena kearifan lokal sebagai unsur dari tradisi budaya masyarakat, umumnya para ahli meletakkan tradisi sebagai katalisator untuk proses generalisasi arti.
     Nusantara yang tercipta dari beragam budaya memiliki kesamaan dalam ranah nilai tradisi. Tradisi merupakan nilai-nilai adat yang sudah mengakar dan diterima oleh masyarakat. Pada permukiman tradisional terdapat sesuatu yang diagungkan yang mana menjadikan agama dan kepercayaan sebagai sentral. Dari segi ini, manusia mencoba memberi identitasnya melalui simbol tertentu pada hunian yang mana sebagai karakter kesetempatan. Contohnya di madura dengan tatanan permukiman Tanean Lanjeng dalam membagi zona sakral dan profan. Hunian berawal dari adanya masjid/surau di sebelah barat dan diikuti rumah awal pada bagian utara dan dapur pada bagian selatan. Hunian tumbuh menyamping dengan didirikannya rumah secara linear sejalan dengan jumlah penduduk. Pada bagian tengah sebagai lapangan memanjang (tanean) sebagai zona sosial. Di tempat lain di dusun Sade, Lombok juga terdapat zonifikasi berdasarkan tingkat kesakralan. Permukiman di Sade tersusun berdasarkan hirarki yang mengarah pada gunung Rinjani, semakin tinggi posisinya, maka semakin tinggi peranan orang tersebut. Orang Sade juga mengkhususkan wanita dengan menempatkan ruang tertentu dalam bale. Sedangkan lelaki hanya diberikan ruang publik di ruang luar ataupun berugak (fungsi seperti gazebo untuk kebutuhan sosial). Ternyata dari beberapa daerah tersebut terdapat kesamaan ciri dan disebut sebagai kesetempatan dalam universalitas. Masyarakat tradisional merasa bahwa dia merupakan bagian dari alam dan merasa memilikinya. Tidak ada bedanya antara tinggal di alam maupun dalam rumah. Ini adalah wujud penghargaan kehidupan manusia terhadap alam. Namun, kondisi berbeda ketika berada pada iklim subtropis atau iklim ekstrim lainnya. Mereka hidup untuk bertahan dari pengaruh iklim. Hal tersebut mempengaruhi terhadap sikap sosial. Ciri yang tampak adalah masyarakat tropis hidup ‘lebih santai’ karena iklim lebih bersahabat. Lain halnya seperti Jepang, negara subtropis yang terkenal pekerja keras. Dari penjelasan ini diketahui dalam aspek tradisionalistik memperhatikan tanda-tanda yang menjunjung potensi alam setempat dan mempengaruhi sikap manusia di dalamnya.

      Ada contoh lain berupa tacit knowledge yang berarti aturan ini sebagai pengetahuan tidak tertulis tetapi dijunjung tinggi. Proses memahami alam akan berhasil apabila terjadi resonansi antara masyarakat manusia dan alam. Sebagai contoh dalam permukiman Madura (tanean lanjang) dan permukiman Sade terdapat batas permukiman berupa bambu atau alang-alang. Bahan yang banyak ditemukan ini juga dipakai sebagai bahan rumah mereka seperti atap di Sade menggunakan alang-alang. Contoh lain adalah petani ataupun nelayan tradisional, mereka tahu kapankah dimulai suatu pekerjaan melalui tanda-tanda alam seperti munculnya rasi bintang, hujan, arah angin, dan sebagainya. Tradisi Jawa juga mengajarkan hal yang baik seperti primbon daur hidup (kelahiran, pernikahan, kematian) selain itu juga arah hadap dan prosesi upacara membangun rumah. Manusia yang merasa modern cukup mengutamakan pemikiran logis dan mengesampingkan detail tradisi, padahal memberikan tuntunan hidup. Pengetahuan seperti ini tidak pernah ada di kalangan akademisi karena langsung dari alam, berkaitan dengan metafisik dan fenomenologi; yang berarti upaya penggalian lapis demi lapis agar diketahui makna yang terkandung. Nilai tacit knowledge ini memberikan pesan bahwa adanya timbal balik terhadap detail tradisi dan alam untuk kehidupan manusia yang lebih baik.
Dalam perspektif yang sedikit berbeda, adalah ketika muncul bangunan kolonial di bumi nusantara. Daendels (±1800an), dengan diterapkannya langgam Empire Stijl dari Perancis yang diadaptasikan di daerah Hindia-Belanda maka tercipta langgam Indische Empire Stijl yang kurang menghargai alam, ditunjukkan dengan adanya luas lahan yang diperlukan untuk membuat sebuah rumah, tanpa teritisan, penggunaan kolom yang besar (doric, ionic, dan corintian), lantai satu yang masuk ke dalam tanah menyebabkan kelembaban tinggi. (Handinoto, 2006). Nilai individualitas tersebut kontras terhadap proses pemahaman terhadap alam justru mengubah cara pandang orang pribumi dan campuran terhadap nilai dari luar, dengan menganggapnya sebagai karya yang agung sebagai wujud kebesaran kekuasaan kolonial, dan langgam tersebut dijadikan sebagai acuan langgam sampai seratus tahun ke depan, bahkan sampai merasuki rumah rakyat. Indische Empire Stijl merupakan salah satu langgam awal sebelum bertransformasi menjadi langgam yang lain seperti NA, Romantiek, Voor dan 1915an. Oleh beberapa ahli dalam arsitektur, karya arsitektur kolonial tetap sebagai wujud local wisdom, salah satu faktornya adalah akulturasi budaya sehingga bangunan tersebut tidak ada di Belanda ataupun Indonesia asli. Keunikan kulturnya memberikan nilai bahwa tidak ada di tempat lain dan mewakili masa tertentu dari sisi diakronik. Adapun nilai yang dipetik dari perspektif ini adalah kegagalan sekaligus menumbuhkan kreatifitas baru dalam menghargai alam dan arsitektur.

     Kontribusi dalam bidang arsitektur dalam metode visual skill atau imaging (melihat-bacakan dari fenomena nyata) ini adalah mampu membangun budaya arsitektur di tanah air supaya lebih peduli dan adil terhadap masyarakat manusia dan alam. Konsepsi sementara kearifan lokal adalah proses menemu-kenali potensi dan sifat-sifat alam untuk keberlanjutan tradisi manusia khususnya dalam berarsitektur. Melalui dengan pendekatan antropologis, ‘membaca fenomena’lah sebagai alat pengungkap kearifan lokal.

3. Kearifan Lokal Masa Kini
     Konsepsi makna kearifan lokal tersebut merupakan kondisi ideal untuk harapan kehidupan yang lebih baik. Namun dari perspektif lain, ada yang sedikit mengaburkannya. Dalam kehidupan saat ini, manusia telah merasa bahwa dirinya modern sehingga kebanyakan menganggap tradisi adalah primitif dan tidak perlu dipakai. Akibatnya terdapat rantai yang terputus antara alam – tradisi – artefak fisik. Kearifan lokal mengalami distorsi makna.
     Perubahan tersebut diperparah jika seseorang menggunakan pendekatan ekonomi (materi) yang umumnya berpikir cepat dan hubungannya dengan fisik. Kasusnya seperti seseorang mendirikan rumah, maka dia akan merancang sesuai dengan kebutuhan (fungsional dan efektif) dengan mengeluarkan modal sekecil-kecilnya untuk mendapatkan hasil maksimal termasuk kepuasan terhadap gaya saat ini. Terkadang pula tidak menyediakan fungsi sosial terhadap tetangga. Hal ini benar-benar mengebiri nilai kosmologis dari tradisi, dan menghilangkan identitas setempat.
     Ada hal yang menarik yang dapat diambil tentang upaya seorang arsitek memaknai kembali kearifan lokal dengan menerapkan pada kehidupan modern. Dalam proses perancangan tidak harus mengambil tipologi bentukan lama (tradisional), tetapi mengambil esensi ruang atau detail tradisi yang lain, seperti kebiasaan tertentu. Ada baiknya seseorang tetap mempertahankan perletakan ruang, misalkan rumah jawa, yang pada bagian depan mewadahi fungsi sosial, pada bagian belakangnya lebih privat dan seterusnya. Gaya boleh mutakhir sesuai selera tetapi tidak menghilangkan identitasnya yaitu masih menerapkan material lokal dan menghargai alam. Kayu yang sekarang sudah semakin terbatas jumlahnya dapat diganti dengan bambu yang mudah dicari dan mudah tumbuhnya selain itu dapat menggunakan material lawasan seperti karya-karya Eko Prawoto.

4. Kesimpulan
     Kearifan lokal dalam pengertian sebelumnya selalu mengalami penyempurnaan, karena bagian dari sebuah tradisi budaya maka bersifat dinamis, oleh karena itu setiap individu dapat memaknai kembali. Kearifan lokal merupakan sebuah proses menemu-kenali potensi dan sifat-sifat alam untuk keberlanjutan tradisi manusia khususnya dalam berarsitektur. Dari konsepsi itu dapat diketahui adanya hubungan timbal balik antara alam-manusia-tradisi. Dalam peranan kehidupan modern, tradisi dianggap primitif sehingga menyebabkan distorsi makna kearifan lokal. Maka dibutuhkan seseorang yang mampu menyeimbangkan antara kebutuhan dan penghargaan terhadap alam. Seseorang yang kebetulan arsitek, harus mampu melancarkan poltik budaya agar tidak kehilangan identitas setempat.

5. Daftar Pustaka
Antariksa. (2009). Architecture Articles : Kearifan Lokal dalam Arsitektur Perkotaan dan Lingkungan  Bhnaan. http://antariksaarticle.blogspot.com. (Diakses 5 November 2010).
Handinoto. (2006). Daendels dan Perkembangan Arsitektur di Hindia Belanda Abad 19. Jurnal Jurusan Arsitektur, Universitas Kristen Petra, Surabaya. (http://archaeology.blogsome.com diakses 6 September 2008).
Pangarsa, Galih Widjil. (2008). Arsitektur untuk Kemanusiaan. Surabaya : PT. Wastu Lanas Grafika.
Sartini. (2004). Menggali Kearifan Lokal Nusantara Sebagai Kajian Filsafati. Jurnal Filsafat. 37(2): 111-120
http://desaingrafisindonesia.wordpress.com/2009/02/menggalikearifanlokalnusantara1.pdf (Diakses 5 November 2010)



untuk mengetahui versi pdf-nya klik disini

Comments

Post a Comment