METODE BERPIKIR KUANTITATIF VS KUALITATIF


Uraian ini adalah cara pandang berdasar pengalaman pribadi seputar dasar berpikir seseorang dalam menyikapi permasalahan, selain itu akan nampak jelas sebagai mindset dan lebih cenderung pada ilmu psikologis. Mengenai definisi apa itu kuantitatif dan kualitatif sudah banyak ditulis dan dijadikan referensi terutama ditemui saat melakukan sebuah penelitian. Secara sederhana, pengertian kuantitatif adalah suatu metode berpikir berdasarkan hitungan untuk memecahkan masalah, sedangkan kualitatif bersifat sosial. Pengkotakan ini jika diamati tidak sebatas aplikasi dalam dunia penelitian, bahkan lebih jauh bisa mempengaruhi platform hidup seseorang.
Sejak duduk di bangku sekolah, pelajaran yang diajarkan sudah dibentuk dalam ranah kurikulum terkadang guru kurang bisa mengajarkan secara bebas dan menempatkan mentalnya sebagai pengajar bukan sebagai pendidik ataupun guru. Hierarkinya, pendidik pada level medium dengan memberikan nilai-nilai hidup yang tidak diberikan pengajar, dan guru pada level tertinggi dan layak dicontoh oleh para murid. Keterbatasan yang dimaksud terletak pada kungkungan mindset sehingga mengajarkan seperti robot dengan putaran tuas pada punggungnya dan setiap saat hanya mengulang apa yang diperolehnya tanpa ter-update dengan nilai-nilai baru. Hal itu cukup diperparah dengan pembagian bidang ilmu hitungan dan sosial. Ilmu hitungan akan selalu disesuaikan dengan rumus sedangkan sosial menghapal textbook secara persis. Sebagai formalitas untuk mencapai kelulusan dan pengembangan logika, hal ini masih bisa cukup dimaklumi. Tetapi ketika masuk pada jenjang lebih tinggi metode berpikir ini harus berubah.
Jika dipahami, metode berpikir secara kuantitatif adalah berpikir sesuai dengan sistem tanpa berani mengubah/keluar sistem itu sendiri. Misalkan rumus jarak adalah kecepatan dikalikan waktu, hasilnya adalah sesuatu yang saklek dan harus itu. Sebenarnya banyak faktor yang berpengaruh seperti kondisi angin, badan, dan seterusnya, yang mungkin menurut seseorang tidak perlu padahal ini dapat sebagai kunci. Orang administratif juga menyelesaikan permasalahan secara sistematis, misalkan saja seorang penjaga perpustakaan, ketika mahasiswa masuk dan ingin meminjam buku maka harus memiliki kartu identitas, meminjam tidak boleh lebih dari tiga, tidak boleh difotokopi, ruang tutup jam 12.00 dan buka pukul 13.00 dan seterusnya. Seorang peminjam sebenarnya tahu bahwa buku itu memiliki hak cipta dan tidak dikopi, selain itu ketika siang hari kemungkinan sedang mendapatkan inspirasi justru terganggu oleh tutupnya ruang. Aturan-aturan ini sarat perintah dan larangan dan masuk pada sistem ‘robot’ terkadang tidak manusiawi, tidak dipikirkan dibelakang apa pengaruhnya. Memang hal tersebut sangat baik untuk mencapai keteraturan, tetapi manusia adalah korban dari lingkaran sistem.
Dalam kehidupan sehari-hari, kontribusi pola pemikiran ini cukup banyak memberikan pengaruh. Seseorang yang terbiasa teratur dengan pola atau sistem, hidupnya akan lebih ‘teratur’. Sejak bangun pukul 05.00, mempersiapkan diri berangkat ke kantor, sampai di lokasi pukul 07.30, siang pukul 12.30 istirahat dan berlanjut kerja sampai pukul 16.00 selanjutnya pulang. Di rumah terkadang bertemu keluarga hanya sebentar dilanjutkan dengan lemburan, dan seterusnya. Hal ini adalah roda hidup seperti sistem yang berlanjut setiap hari sampai tua, tanpa perubahan. Apakah hidup hanya berproduksi seperti daur kelahiran – pernikahan – memiliki keturunan – kematian saja? Tanpa ada nilai-nilai yang ditinggalkan. Begitulah apabila seseorang telah menjadi budak oleh sistem yang sifatnya kuantitatif.
Penerapannya dalam penelitian, metode kuantitatif biasanya dipakai dalam analisis yang bersifat matematis untuk mencapai hasil yang bersifat angka. Rumus yang digunakan sifatnya ‘turun temurun’/statis dengan trial and error. Bagaimana kontribusi angka-angka ini pada khalayak? Apakah cukup bisa dipahami dengan melihatnya? Hasil dari penelitian dengan hitungan berupa kesimpulan yang bersifat ilmiah akan bersifat dangkal, fisik, alternatif yang berulang, biasa-biasa dan tanpa makna yang berkontribusi bagi masyarakat, kecuali akademis.
Lain halnya dengan metode berpikir yang bersifat kualitatif. Pola pikir ini seperti tunas yang sedang tumbuh, tanpa ada batasan kecuali diri sendiri yang membatasi. Sepintas yang terlihat adalah ketidakteraturan, tapi hal inilah proses. Orang kualitatif akan lebih dekat dengan sosialnya, mereka menggali informasi secara setahap demi setahap untuk mendapatkan informasi berikutnya dan mencari makna dibalik itu atau metode fenomenologis. Mereka biasanya melakukan wawancara dan dimulai dengan titik berkumpulnya seseorang misalkan warung. Observasi lapangan yang sifatnya tersamar dengan menjadikan diri sebagai native akan banyak menerima informasi yang sifatnya tidak formal tetapi sangat penting.
Orang kualitatif tidak meletakkan sesuatu secara kaku tetapi sebagian besar suatu hal dapat ditoleransi asalkan tidak menyalahi sesuatu yang paling haq. Bila disodorkan hitungan 1+1 belum tentu jawaban adalah 2, tergantung faktor apakah yang mempengaruhinya. Pemikiran seperti ini sedikit berkaitan dengan dekonstruksi derrida yang intinya membalikkan sesuatu yang sifatnya sudah mapan dengan sesuatu yang baru dengan kemungkinan lebih benar. Intinya tidak ada sesuatu itu yang sifatnya benar, semua harus dicari apa makna dibelakangnya tanpa terpenjara oleh sistem.
Di sisi lain ternyata banyak juga faktor sebagai kelemahan dari metode berpikir kualitatif yang terbawa selalu dalam hidupnya. Seseorang tidak mampu menjaga keseimbangan hidup dan terbawa dalam ketidakteraturan, pemalas, dan menggantungkan hidupnya pada orang lain. Orang seni banyak yang seperti ini karena menganggap setiap langkahnya tumbuh, berseni, lepas dari sistem dan terkadang tanpa kontrol.
Upaya penengahnya adalah dengan mencari sisi eklektis dari kedua metode berpikir ini, yaitu mencari keseimbangan kapan memakai kuantitatif, kualitatif atau kombinasinya. Seseorang yang menyelesaikan permasalahan lebih baik mengonsep yang bersifat sistematis (kuantitatif) untuk mengetahui perkiraan hasil. Jika hasil tidak sesuai apa yang diharapkan tidak akan meleset terlalu jauh, apalagi bila ada pengembangan sikap di lapangan dengan mencari makna yang terkandungnya (kualitatif) pasti akan memperoleh hasil yang maksimal dan memberikan kontribusi pada khalayak. Intinya adalah kembali pada hakikat manusia, apakah sesuatu itu pantas atau tidak.

Comments